Pemimpin Berdaya Saing

(Pelajaran dari Bantaeng)
Oleh : Sambirang Ahmadi, M.Si*

Salah satu daerah maju di Indonesia sekarang ini adalah Bantaeng. Kabupaten kecil seluas 395,83 Km2 dengan penduduk 181.006 jiwa ini terletak di sebelah selatan Provinsi Sulawesi Selatan. Sejak tahun 2008, kabupaten ini dipimpin oleh seorang yang berlatar belakang akademisi, Prof. DR. Nurdin Abdullah, M.Agr. Di bawah kepemimpinannya, Bantaeng yang sebelumnya merupakan daerah tertinggal nomor 199 di Indonesia melaju pesat dan banyak perubahan dirasakan masyarakatnya. Belakangan ini Bantaeng telah berkembang menjadi salah satu laboratorium pembelajaran manajemen pemerintahan, tertutama dalam bidang pelayanan publik dan teknologi pertanian. Banyak agen pembangunan datang studi banding ke daerah ini.
Diawal kepemimpinan Nurdin Abdullah, penerimaan daerah Bantaeng hanya 330 miliar dengan PAD 14,6 miliar. Bantaeng juga langganan bencana alam, terutama banjir, karena kontur wilayahnya seperti mangkuk. Lokus kota Bantaeng yang berada di bibir pantai juga sangat rentan dengan serangan air pasang. Pelayanan publiknya belum memadai, lambat dan rumit. Sering terjadi kasus kematian ibu ketika melahirkan, kasus kematian bayi dan balita, dan kasus gizi buruk. Begitu juga pendapatan perkapita masyarakatnya relatif tertinggal.
Dengan tagline “The New Bantaeng”, alumnus Universitas Kyushu Jepang ini memimpin Bantaeng dengan berbagai sentuhan ide-ide inovasi dan teknologi. Yang pertama dibenahi adalah pola pikir (mindset) pegawai dan masyarakatnya. Dia mengajak pegawainya menjadi visioner, tidak berpikir proyek dan keuntungan semata. Gaya kepemimpinannya mengadopsi filosofi Kayzen, yaitu filosofi dari Jepang yang memfokuskan diri pada perbaikan secara terus-menerus atau berkesinambungan (continuous improvement). Filosofi ini menekankan pada perubahan mindset pemimpin birokrasi untuk memberikan pelayanan yang maksimal diiringi dengan proses atau tata cara yang benar. Orang Jepang (Toyota) punya cara sendiri untuk melihat perubahan mindset agar tampak lebih jelas. Caranya dengan menerapkan tiga disiplin dasar yaitu: ringkas, bersih, dan rapi. Jadi segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan dibuat lebih ringkas, agar gampang dibersihkan dan dirapikan. Ringkas artinya hanya menggunakan yang perlu saja dan membuang yang tidak diperlukan pada saat pekerjaan dilakukan. Itulah manajemen efisiensi dan efektifitas yang berusaha menjauhi segala kegiatan yang bersifat pemborosan (waste). Dengan filosofi ini, semua kebijakan dibuat betul-betul berorientasi kebutuhan publik. Belanja-belanja yang tidak perlu dipangkas untuk efisiensi dan hanya fokus pada target pemenuhan kebutuhan publik. 
Di Bantaeng, tidak kita temukan bangunan-bangunan megah dan mewah seperti daerah maju lainnya. Tidak juga kita temukan fasilitas dan bangunan yang mubazzir karena tidak berfungsi. Tapi infrastruktur dasar yang dibutuhkan masyakatnya relatif memadai. Begitu juga fasilitas pelayanan dasarnya, terutama kesehatan sangat memadai. Rumah sakitnya tampak sangat megah, demikian juga fasilitas penunjangnya seperti mobil-mobil ambulans dan alat-alat kesehatannya. Kotanya dipenuhi bangunan-bangunan model lama namun terlihat sangat asri, bersih dan rapi.
APBD Bantaeng tidak besar. Dari 330 miliar pada 2008, kini APBD Bantaeng sekitar 1,043 triliun.   Bagaimana Bantaeng bisa berkembang pesat sementara APBD-nya relatif kecil? Kata kuncinya ada pada ide inovasi dan kreativitas pemimpinnya. Beberapa terobosan dilakukannya: Pertama, untuk memberdayakan masyarakat, Nurdin Abdullah membangun kerjasama dengan berbagai pihak. Tenaga-tenaga ahli didatangkan dari lembaga-lembaga profesional (kampus-kampus, BPPT, bahkan dari lembaga luar negeri: Jepang dan Australia). Kedua, melakukan optimalisasi pemanfaatan anggaran untuk program yang betul-betul berorientasi pada kebutuhan publik. Ketiga, menyiasati keterbatasan anggaran daerah dengan menggedor pintu pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah Jepang. Jangan heran, jika datang ke Bantaeng kita akan menemukan banyak fasilitas, terutama kesehatan, bermerek Jepang. 
Inovasinya di bidang pelayanan publik cukup menonjol, yaitu membentuk Tim Emergency Service untuk menangani masalah kedaruratan di bidang kesehatan, bencana alam, bencana sosial dan orang hilang. Tim ini terdiri dari Pemadam Kebakaran (DAMKAR), Brigade Siaga Bencana (BSB), Taruna Siaga Bencana (TAGANA), dan dibantu oleh organisasi terkait seperti PMI, ORARI, dan POLRES. Tim ini bekerja secara mandiri dan professional walaupun berada di bawah struktur organisasi yang berbeda. Dalam penanganan kedaruratan, unit-unit institusi tersebut bekerja dalam satu sistem terpadu, sehingga programnya disinergiskan satu sama lain. Jika ada satu musibah terjadi, seperti kebakaran, bukan hanya mobil pemadam yang akan datang membantu, tapi semua tenaga dan fasilitas unit terkait di atas akan ikut serta ke lapangan. Sehingga jika ada yang terancam nyawanya akibat kebakaran tersebut atau terganggu keamanannya bisa langsung ditangani di tempat.
Melalui inovasi pelayanan kesehatan, kasus-kasus fatal seperti gizi buruk, kematian ibu melahirkan, dan kematian bayi bisa ditekan hingga titik nol. Begitu juga kasus kematian akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) mampu diatasi pemerintah secara proaktif. Untuk memperpendek birokrasi dan mempercepat pelayanan, penanganan kesehatan penduduk dilakukan langsung di rumahnya. Dari tahun 2009 sampai 2013 Brigade Siaga Bencana telah berhasil melakukan penyelamatan jiwa di atas ambulans sebanyak 86 kasus persalinan dan melakukan penanganan pasien kasus ringan langsung di rumah sebanyak 4.904 kasus (Zindar Tamimi, 2015).
Di bidang pertanian, inovasinya tak kalah hebat. Sebagai profesor pertanian, Nurdin Abdullah  membangun kerjasama dengan ahli-ahli dari perguruan tinggi seperti UNHAS, dan lembaga pengkajian dan penerapan teknologi (BPPT) serta lembaga luar negeri seperti Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (Seameo Biotrop). Dengan kepakaran personal dan relasi kerjasamanya, Nurdin Abdullah berhasil membuat banyak terobosan inovatif. Bantaeng kini dikenal sebagai kabupaten pusat penghasil benih berbasis teknologi. Benih-benih unggul dari Bantaeng kini telah menjalar ke daerah-daerah lain. Sektor agrowisata juga dikembangkan dengan mendorong petani menanam apel, strowberi, bawang merah, wortel dan kentang dalam satu kawasan. Nurdin Abdullah juga sukses memberdayakan petani melalui gerakan sistem tanam legowo-21. Dengan sistem ini produksi dan produktifitas tanaman pangan khusus padi terus meningkat. Nurdin Abdullah juga berhasil mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian seperti industri pengemasan, pengepakan, pengalengan hasil laut, dan industri olahan komoditi wortel. Hasil industrinya telah masuk ke sejumlah pasar di luar Bantaeng dan bisa didapatkan di sejumlah mini market terkenal.
Di bidang peternakan, Nurdin Abdullah berhasil melakukan perbaikan kualitas sapi melalui teknologi Inseminasi Buatan dan Laser Punktur. Dengan teknologi ini, sejak tahun 2009 terjadi peningkatan jumlah sapi dengan kualitas unggul. Di desa-desa yang banyak ternaknya, masyarakat diberdayakan dengan cara memanfaatkan limbah ternak menjadi energi alternatif (biogas). Dengan demikian kebutuhan masyarakat terhadap gas dapat dikurangi. Limbah ternak juga dimanfaatkan sebagai pupuk organik padat dan cair. Selain itu, masyarakat juga diberdayakan dengan memfaatkan limbah pangan dari perkebunan kopi, coklat, dan biji kapuk sebagai pakan ternak.
Nurdin Abdullah juga menjadikan Bantaeng sebagai pusat penangkaran talas yang dilengkapi dengan laboratorium kultur jaringan yang berorientasi ekspor. Selain itu, Nurdin Abdullah sukses mengembangkan budidaya durian dengan kadar kolestrol rendah, tanpa aroma menyengat dan tanpa mengenal musim. Untuk mengelola potensi desa, Nurdin Abdullah juga berhasil melakukan penguatan kelembagaan BUMDes di setiap desa sehingga kesejahteraan warga desa dapat terfasilitasi dengan baik. Yang unik lagi, sekarang ini Nurdin Abdullah sedang merekayasa bibit jagung yang bisa langsung dimakan tanpa harus direbus dengan menggandeng ahli dari Jepang. 
Inilah contoh daerah yang berhasil dikelola dengan gaya kepemimpinan yang berdaya saing. Kemampuan keuangan daerah boleh kecil, tapi kalau dikelola dengan gaya manajemen kepemimpinan yang benar, daerah tersebut akan maju. Ukurannya bukan pada seberapa banyak pendapatan daerah, tapi pada seberapa berdaya masyarakatnya karena kebutuhannya terpenuhi.
Semua Bermula dari Pemimpin
Apa sebetulnya yang membuat sebuah daerah berdaya saing? Ternyata bukan semata karena keunggulan sumberdaya alamnya, tapi karena keunggulan inovasi pemimpinnya. Dialah agen perubahan yang sangat menentukan. Dari sang pemimpin, sebuah ide dan inspirasi harusnya mengalir. Di sini pentingnya setiap pemimpin daerah harus datang bertahta ke dalam sistem birokrasi dengan kekuatan ide inovasi dan teknologi, serta relasi dan kepercayaan. Jika dia hanya datang dengan kekuatan politik minus ide, maka dia akan terjebak dalam “kandang besi” birokrasi yang sistemnya sudah sangat mapan. Pilihannya hanya dua: adaptasi atau kompromistis.  Pemimpin yang hanya bisa adaptasi cenderung melanjutkan program dan perencanaan yang sudah ada tanpa sentuhan ide-ide baru. Pemimpin kompromistis cenderung akomodatif terhadap keadaan dan mekanisme birokrasi sebagaimana adanya, tidak banyak perubahan. Tapi kalau sang pemimpin daerah datang dengan kekuatan ide perubahan, dia akan melakukan improvisasi program dan strategi yang memungkinkan semua idenya terwujud. Bahkan jika ada hambatan teknis birokratis secara internal dan kendala-kendala sosial-politik eksternal,  dengan “tangan besinya” dia akan memaksakan idenya masuk dalam sistem, dan bila diperlukan dia akan merubah sistem yang sudah mapan agar adaptif dengan idenya.
Fungsi pemerintahan di suatu daerah kadang tidak bisa berperan maksimal karena para agen birokrasinya lemah dan terjebak dengan cara kerja lama, kecuali jika kapabilitas pemimpin daerahnya kuat serta pandai memainkan peran-peran inovatif. Itulah sebabnya kita perlu kehadiran pemimpin daerah yang berdaya saing, karena tanpa itu suatu daerah akan sulit bersaing dengan daerah lainnya meski potensi sumberdaya alamnya melimpah. Apalagi tren pembangunan ekonomi sekarang ini bukan lagi berbasis keunggulan sumberdaya alam, tapi sudah berbasis iptek (knowledge based-economy).
Kehadiran pemimpin berdaya saing dewasa ini sangat urgen untuk memecahkan masalah keterbatasan kapasitas fiskal atau kemampuan keuangan daerah. Hanya pemimpin yang berdaya saing yang bisa menyiasati kekurangan daerahnya menjadi suatu kelebihan. Logikanya, jika suatu daerah hanya menggantungkan pembangunannya pada kemampuan APBD, maka tentu hanya yang memiliki APBD besar yang akan berkembang pesat. Itupun kalau pengalokasian belanja APBD-nya fokus dan tepat sasaran. Kalau tidak, APBD besar bukanlah jaminan suatu daerah akan maju pesat. Apalagi kalau APBD-nya salah kelola, yang muncul malah kesenjangan yang terus melebar, bukan pemerataan. Kerap terjadi di suatu daerah: banyak program dan belanja daerah mubazzir, tak terukur hasilnya karena sifatnya yang copy paste, tidak ada unsur kebaruan dan inovasi. Sebaliknya, ada daerah yang kapasitas APBD-nya terbatas, tapi karena pemimpinnya berdaya saing (kaya ide dan inovasi), daerah tersebut berkembang pesat dan berhasil keluar dari zona ketertinggalan. Dengan kata lain, daya saing daerah sebetulnya tergantung pada daya saing pemimpinnya.
Pemimpin Berdaya SaingHigh Trust Leadership
Pemimpin berdaya saing adalah pemimpin yang mampu meningkatkan nilai tambah dan produktivitas masyarakatnya dengan sentuhan ide inovasi dan teknologi. Dia memiliki keunggulan berlebih baik secara kompetitif maupun komparatif. Keunggulan kompetitifnya adalah memiliki ide-ide progresif, inisiatif berlebih, inovatif, bekerja dengan target dan fokus, serta proaktif, suka “jemput bola” dan “gedor pintu” ke lembaga manapun yang bisa memberi manfaat ekonomis atau menjadi sumber uang. Keunggulan komparatifnya adalah memiliki tingkat kompetensi personal yang handal, relasi, jaringan dan tingkat kepercayaan berlebih. Relasinya bukan hanya dengan kekuatan sosial-politik (dukungan mayoritas parlemen,  birokrasi lokal, dan kekuatan civil society), tapi juga dengan kekuatan ekonomi dan eksternalitas lainnya: dunia usaha, industri, kampus, dan lembaga-lembaga donor dalam dan luar negeri, serta dengan lembaga-lembaga profesional.
Dengan keunggulannya, sang pemimpin piawai menarik masuknya banyak investasi ke daerahnya, mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi lahirnya usahawan-usahawan terampil,  mampu menyediakan pasar tenaga kerja domestik, dan mampu menarik aktivitas inovasi dan transfer iptek ke daerahnya. Itulah yang disebut dengan high trust leadership, kepemimpinan dengan tingkat kepercayaan berlebih. Di daerah dimana pemimpinnya sangat dipercaya, masyarakatnya gampang sekali diajak berubah. Kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin bisa mewujud dalam bentuk ketaatan, kepatuhan, kesadaran, kerelaan, kekompakan, dan kemauan kerjasama.
Pemimpin berdaya saing memiliki wibawa kepemimpinan yang kuat (strong leadership) bukan semata karena modal sosialnya berlebih, tapi juga karena kecerdasan personalnya. Atas dasar itu dia mampu melakukan tiga tugas dan fungsinya dengan mudah, yaitu: mempercepat pelayanan publik (services), mempercepat pembangunan daerah (development) dan menggalakkan pemberdayaan masyarakat (empowerment).
                Kita tentu rindu hadirnya pemimpin daerah yang memiliki jiwa dan semangat competitiveness, berdaya saing secara ide dan inovasi, seperti yang ditunjukkan oleh salah satu pemimpin daerah di Indonesia: Bupati Bantaeng. NTB juga bisa. Semoga!
*Penulis adalah Kepala SDIT Samawa Cendekia, General Manager Science and Technopark Sumbawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar